Rabu, 05 Juni 2013

KONSTRUKSI JEMBATAN BETON BERTULANG

DASAR TEORI

Pengertian umum
Jembatan merupakan salah satu bentuk konstruksi yang berfungsi meneruskan jalan melalui suatu rintangan. Seperti sungai, lembah dan lain-lain sehingga lalu lintas jalan tidak terputus olehnya.
Dalam perencanaan konstruksi jembatan dikenal dua bagian yang merupakan satu kesatuan yang utuh yakni :
1.      Bangunan Bawah ( Sub Struktur )
2.      Bangunan Atas ( Super Struktur )
Bangunan atas terdiri dari lantai kendaraan, trotoar, tiang-tiang sandaran dan gelagar.
Bangunan bawah terdiri dari pondasi, abutmen, pilar jembatan dan lain-lain.
Syarat dan bentuk jembatan
Pemilihan bentuk jembatan sangat dipengaruhi oleh kondisi dari lokasi jembatan tersebut. Pemilihan lokasi tergantung medan dari suatu daerah dan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah dengan kata lain  bentuk dari konstruksi jembatan harus layak dan ekonomis.
Perencanaan konstruksi jembatan berkaitan dengan letaknya. Oleh beberapa ahli menentukan syarat-syarat untuk acuan dari suatu perencanaan jembatan sebagai berikut :
1.      Letaknya dipilih sedemikian rupa dari lebar pengaliran agar bentang bersih jembatan tidak terlalu panjang.
2.      Kondisi dan parameter tanah dari lapisan tanah dasar hendaknya memungkinkan perencanaan struktur pondasi lebih efesien.
3.      Penggerusan ( scow-ing ) pada penampang sungai hendaknya dapat diantisipasi sebelumnya dengan baik agar profil saluran di daerah jembatan dapat teratur dan panjang.
Dari syarat-syarat tersebut diatas telah dijelaskan bahwa pemilihan penepatan jembatan merupakan salah satu dari rangkaian system perencanaan konstruksi jembatan yang baik, namun demikian aspek–aspek yang lain tetap menjadi bagian yang penting, misalnya saja system perhitungan konstruksi; penggunaan struktur ataupun mengenai system nonteknik seperti obyektifitas pelaksana dalam merealisasikan jembatan tersebut.
Mengenai bentuk-bentuk jembatan dapat dibedakan sesuai dengan:
Material yang digunakan
 Jembatan kayu
  Jembatan baja
 Jembatan beton
  Jembatan gabungan baja dan beton
Jenis konstruksinya
  Jembatan ulir
  Jembatan gelagar
  Jembatan plat
 Jembatan gantung
  Jembatan dinding penuh
  Jembatan lengkungan

 Menurut penggolongan
  Jembatan yang dapat digerakan, merupakan jenis jembatan baja yang pelaksanaannya dibuat sebagai gelagar dinding penuh.
  Jembatan tetep, jenis jembatan seperti ini digunakan untuk keperluan lalu lintas. Seperti jembatan kayu, jembatan beton dan jembatan batu.
Jembatan Beton Bertulang
 Definisi
            Jembatan beton merupakan jembatan yang konstruksinya terbuat dari material utama bersumber dari beton.
Sifat Dasar Beton
Beton adalah suatu campuran yang terdiri dari agregat alam seperti kerikil, pasir, dan bahan perekatBahan perekat yang biasa dipakai adalah air dan semen. Secara umum, beton dibagi dalam dua bagian yaitu:
a.       Beton bertulang
b.      Beton tidak bertulang

Beton bertulang adalah suatu bahan bangunan yang kuat, tahan lama dan dapat dibentuk menjadi berbagai ukuran. Mamfaat dan keserbangunannya dicapai dengan mengkombinasikan segi-segi yang terbaik dari beton dan baja dengan demikian apabila keduanya dikombinasikan, baja akan dapat menyediakan kekuatan tarik dan sebagian kekuatan geser.
     Beton tidak bertulang hanya mampu atau kuat menahan kekuatan tekan dari beban yang diberikan.

Beban Yang Dihitung Dalam Merencanakan Jembatan
Secara umum beban – beban yang dihitung dalam merencanakan jembatan dibagi atas dua yaitu beban primer dan beban sekunder. Beban primer adalah beban utama dalam perhitungan tegangan untuk setipa perencanaan jembatan, sedangkan beban sekunder adalah beban sementara yang mengakibatkan tegangan – tegangan yang relatif kecil daripada tegangan akibat beban primer dan biasanya tergantung dari bentang,bahan,sistem kontruksi,tipe jembatan dan keadaan setempat.
A.    Beban Primer
Beban primer adalah beban yang merupakan muatan utama dalam perhitungan tegangan untuk setiap perencanaan jembatan.
Beban primer jembatan mencakup beban mati,beban hidup dan beban kejut.
1.      Beban Mati
Beban mati adalah semua muatan yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan tetap yang dianggap merupakan satu satuan dengan jembatan (Sumantri, 1989:63). Dalam menentukan besarnya muatan mati harus dipergunakan nilai berat volume untuk bahan-bahan bangunan.
Contoh beban mati pada jembatan: berat beton, berat aspal, berat baja, berat pasangan bata, berat plesteran dll.
Rumus untuk berat sendiri:
QMS = b . h . wc
Dimana :    QMS= Berat sendiri
b    = Slab lantai jembatan
                                    h    = Tebal slab lantai jembatan
wc  = Berat beton bertulang ( yang disyaratkan dalam RSNI       T-02-2005 adalah dari 23,5-25,5 )
Beban mati tambahan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana :   QMA     = Beban mati tambahan
ta          = Tebal lapisan aspal + ovelay ( berat yang   ditetapkan dalam RSNI T-02-2005 adalah 22,0 )
ha         = Tebal genangan air hujan ( berat yang   ditetapkan dalam RSNI T-02-2005 adalah 9,8 )

2.      Beban Hidup
Yang termasuk dengan beban hidup adalah beban yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan bergerak lalu lintas dan/atau pejalan kaki yang dianggap bekerja pada jembatan. Berdasarkan PPPJJR-1987, halaman 5-7, beban hidup  yang ditinjau terdiri dari :
a.       Beban “T”(Beban lantai kendaraan)
Beban “T” merupakan beban kendaraan truk yang mempunyai beban roda ganda (Dual Wheel Load) sebesar 10 ton, yang bekerja pada seluruh lebar bagian jembatan yang dingunakan untuk lalu lintas kendaraan.



Beban hidup pada lantai jembatan berupa beban roda ganda oleh Truk (beban T) yang besarnya, T = 100 kN. Dengan menggunakan rumus:

PTT = ( 1 + DLA ) . T

Dimana :
            PTT       = Beban truk “T”
            DLA    = Faktor beban dinamis untuk pembebanan truk

a.       Beban “D”(Jalur lalu lintas )

Beban “D” adalah susunan beban pada setiap jalur lalu lintas yang terdiri dari beban garis “P” ton per jalur lalu lintas (P = 12 ton) dan beban terbagi rata “q” ton per meter panjang per jalur sebagai berikut:
q = 2,2 t/m                                                    untuk L < 30 m.
q = 2,2 t/m – {(1,1/60) x (L – 30)} t/m        untuk 30 m < L < 60 m.
q = 1,1{1 + (30/L)}                                      untuk L > 60 m.
Ketentuan penggunaan beban “D” dalam arah melintang jembatan sebagai berikut:
Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan < 5,50 m, beban “D” sepenuhnya (100%) harus dibebankan pada seluruh jembatan.
Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan > 5,50 m, beban “D” sepenuhnya (100%) dibebankan pada lebar jalur 5,50 m sedangkan lebar selebihnya dibebani hanya separuh beban “D” (50%).
contoh beban hidup pada jembatan: beban kendaraan yang melintas, beban orang berjalan dll.
1.      Beban Kejut
Menurut Anonim (1987:10) beban kejut diperhitungkan pengaruh getaran-getaran dari pengaruh dinamis lainnya., tegangan-tegangan akibat beban garis (P) harus dikalikan dengan koefisien kejut. Sedangkan beban terbagi rata (q) dan beban terpusat (T) tidak dikalikan dengan koefisien kejut. Besarnya koefisien kejut ditentukan dengan rumus:
Dimana : K = Koefisien kejut
L = Panjang dalam meter dari bentang yang bersangkutan
A.    Beban Sekunder
Beban sekunder adalah beban pada jembatan-jembatan yang merupakan beban atau muatan sementara, yang selalu bekerja pada perhitungan tegangan pada setiap perencanaan jembatan. Pada umumnya beban ini mengakibatkan tegangan-tegangan yang relative lebih kecil dari pada tegangan-tegangan akibat beban primer, dan biasanya tergantung dari bentang, system jembatan, dan keadaan setempat. 
Sedangkan Beban Sekunder terdiri dari beban angin, gaya rem, dan gaya akibat perbedaan suhu.
1.      Beban Angin ( EW )
Pengaruh tekanan angin bekerja dalam arah horizontal sebesar 100 kg/cm2. Dalam memperhitungkan jumlah luas bagian jembatan pada setiap sisi digunakan jumlah luas bagian jembatan pada setiap sisi digunakan ketentuan sebagai berikut:
Ø  Untuk jmbatan berdinding penuh diambil sebesar 100% terhadap luas sisi jembatan

Ø  Untuk jembatan rangka diambil sebesar 30% terhadap luas sisi jembatan.




Beban garis merata tambahan arah horisontal pada permukaan lantai jembatan akibat angin yang meniup kendaraan di atas jembatan dihitung dengan rumus :
TEW = 0.0012 . Cw . (Vw)2
Dimana :
Cw = koefisien seret = 1,2 ( RSNI T-02-2005 )
Vw = Kecepatan angin rencana

Bidang vertikal yang ditiup angin merupakan bidang samping kendaraan dengan tinggi  ( h )   = 2.00 m di atas lantai jembatan.
Jarak antara roda kendaraan ( x ) = 1.75 m

Transfer  beban angin ke lantai jembatan dengan menggunakan   rumus:
           
PEW = [ 1/2*h / x * TEW ]

1.      Beban Gaya Rem
Gaya ini bekerja dalam arah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan pengaruh gaya rem sebesar 5% dari muatan D tanpa koefisien kejut yang memenuhi semua jalur lalu lintas yang ada dalam satu jurusan.
2.      Gaya Akibat Perbedaan Suhu
Perbedaan suhu harus ditetapkan sesuai dengan keadaan setempat. Diasumsikan untuk baja sebesar C dan beton 10. Peninjauan khusus terhadap timbulnya tegangan-tegangan akibat perbedaan suhu yang ada antara bagian-bagian jembatan dengan bahan yang berbeda.
3.      Beban Gempa
Untuk pembangunan jembatan pada daerah yang dipengaruhi oleh gempa, maka beban gempa juga diperhitungkan dalam perencanaan struktur jembatan
4.      Beban angin
Beban angin dihitung pada daerah konstruksi jembatan yang harus menahan beban angin.
A.    Beban Khusus

Beban khusus adalah beban atau muatan yang merupakan pemuatan khusus untuk perhitungan tegangan pada perencanaan jembatan. Muatan ini bersifat tidak terlalu bekerja pada jembatan, hanya berpengaruh pada sebagian konstruksi, tergantung pada keadaan setempat.

Yang termaksud beban khusus adalah:

1.      Gaya akibat gempa bumi
2.      Gaya akibat aliran air
3.      Gaya akibat tekanan tanah dan lain-lain

Perencanaan Pipa Sandaran
Pada perencanaan pipa sandaran, ditentukan:
1.      Beban hidup yang bekerja pada pipa sandaran

2.      Luas penampang pipa
3.      Momen tahanan
4.      Diameter dan tebal pipa sandaraan dilihat pada tabel
5.      Berat pipa = A x  beton
Perencanaan Tiang Sandaran
Pada perencanaan tiang sandaran ditentukan:
1.      Beban horizontal ( H1 )
2.      Berat sendiri tiang sandaran + pipa sandaran
3.      Tulangan tiang sandaran
Perencanaan Lantai Trotoar
Pada perencanaan lantai trotoar ditentukan:
1.      Data-data perencanaan yang dibutuhkan:

    beton = 2400 kg/m3
  Tebal trotoar
  Tebal kerb beton
  Mutu beton ( fc )
  Mutu baja (fy )

2.      Beban-beban yang diperlukan:

  Berat sendiri trotoar ( W1 )
 Berat sendiri kerb beton ( W2 )
  Beban hidup ( W3 )
  Beban tiang sandaran + pipa ( W4 )
  Beban horizontal pada tiang sandaran ( H1 )
  Beban horizontal pada kerb beton ( H2 )


3.      Perhitungan momen

  Momen akibat beban mati


  Momen akibat beban hidup

 Momen berfaktor


4.      Perhitungan tulangan

Pada perencanaan tulangan data yang diperlukan adalah:

  Tinggi plat trotoar
  Direncanakan tulangan utama
 Selimut beton
  Tinggi efektif

Dalam perhitungan tulangan ini Tinggi efektif dapat dihitung dengan rumus:
Tulangan bagi
Rumus untuk fy = 350 Mpa
                       
Perhitungan Lantai Kendaraan
            Perhitungan lantai kendaraan didasarkan pada:
A.    Beban Pada Lantai

1.      Beban mati

  Akibat berat sendiri lantai kendaraan
  Akibat berat aspal
  Akibat berat air hujan

2.      Beban hidup
Beban hidup yang bekerja pada lantai kendaraan adalah beban “T” yang merupakan kendaraan truk yang mempunyai beban roda ganda sebesar 10 ton. Beban untuk jembatan kelas II diambil sebesar 70 % yaitu untuk jembatan permanen.
Beban roda disebar merata pada lantai kendaraan berukuran (2,25 x 3,5) m2 yaitu pada jarak antara gelagar memanjang dan gelagar melintang. Bidang kontak roda untuk beban 70 % adalah (14 x 35) cm2 (sumber: PPPJJR -1987, hal:23). Besarnya T diambil 70 %, maka T = 70 % x 10 = 7 ton. Penyebaran gaya terhadap lantai jembatan dengan sudut 450 dapat dilihat pada gambar berikut: 





Penyebaran Gaya :
Untuk potongan memanjang lantai dengan menggunakan rumus:
u = a1 + 2 (1/2 x tebal plat beton + tebal aspal)
Untuk potongan melintang lantai dengan menggunakan rumus:
v = b2 + 2 (1/2 x tebal plat beton + tebal aspal)

3.      Beban angin
Muatan angin merupakan muatan sekunder. Berdasarkan PPPJJR 1987, tekanan angin diambil sebesar 150 kg/m2. Luas bidang muatan hidup yang bertekanan angin ditetapkan setinggi 2 m di atas lantai kendaraan, sedangkan jarak as roda kendaraan adalah 1,75 m. Reaksi pada roda akibat angin (R) :



Seperti terlihat pada gambar berikut:
 



B.     Analisis Struktur pelat
Berdasarkan SKNI T-12-2004, Kekuatan pelat lantai terhadap lentur harus ditentukan sesuai pasal 5.1.1.1 sampai pasal 5.1.1.4, kecuali apabila persyaratan kekuatan minimum pada pasal 5.1.1.4 dianggap memenuhi dengan memasang tulangan tarik minimum sesuai dengan pasal 5.5.3.

5.1.1.1 Asumsi perencanaan
Perhitungan kekuatan dari suatu penampang yang terlentur harus memperhitungkan keseimbangan dari tegangan dan kompatibilitas regangan, serta konsisten dengan anggapan:
- Bidang rata yang tegak lurus sumbu tetap rata setelah mengalami lentur.
- Beton tidak diperhitungkan dalam memikul tegangan tarik.
- Distribusi tegangan tekan ditentukan dari hubungan tegangan-regangan       beton.
- Regangan batas beton yang tertekan diambil sebesar 0,003.

Hubungan antara distribusi tegangan tekan beton dan regangan dapat berbentuk persegi, trapesium, parabola atau bentuk lainnya yang menghasilkan perkiraan kekuatan yang cukup baik terhadap hasil pengujian yang lebih menyeluruh. Walaupun demikian, hubungan distribusi tegangan tekan beton dan regangan dapat dianggap dipenuhi oleh distribusi tegangan beton persegi ekivalen, yang diasumsikan bahwa tegangan beton = 0,85 fc’ terdistribusi merata pada daerah tekan ekivalen yang dibatasi oleh tepi tertekan terluar dari penampang dan suatu garis yang sejajar dengan sumbu netral sejarak a = β1c dari tepi tertekan terluar tersebut.
Jarak c dari tepi dengan regangan tekan maksimum ke sumbu netral harus diukur dalam arah tegak lurus sumbu tersebut.

Faktor β1 harus diambil sebesar:
β1 = 0,85 untuk fc’ < 30 MPa
β1 = 0,85 – 0,008 (fc’ – 30 ) untuk fc’ > 30 MPa
tetapi β1 pada persamaan 5.1-2 tidak boleh diambil kurang dari 0,65.

5.1.1.2  Faktor reduksi kekuatan

Faktor reduksi kekuatan diambil sesuai dengan pasal 4.5.2.

5.1.1.3  Kekuatan rencana dalam lentur

Perencanaan kekuatan pada penampang terhadap momen lentur harus berdasarkan kekuatan nominal yang dikalikan dengan suatu faktor reduksi kekuatan Φ sesuai dengan pasal 4.5.2

5.1.1.4  Kekuatan minimum

Kekuatan nominal dalam lentur pada penampang kritis beton harus diambil tidak lebih kecil dari 1,2 Mcr (momen retak), yang dipenuhi oleh suatu persyaratan tulangan tarik minimum sebagaimana disampaikan dalam pasal 5.1.1.5.

5.1.1.5   Syarat tulangan minimum

a.       Pada setiap penampang dari suatu komponen struktur lentur, bila berdasarkan analisis diperlukan tulangan tarik, maka luas As yang ada tidak boleh kurang dari:
Dan tidak lebih kecil dari:

b.      Pada balok T sederhana dengan bagian sayap tertarik, As min tidak boleh kurang dari nilai terkecil di antara :
Dan
dengan pengertian :
bf         = adalah lebar bagian sayap penampang.

c.       Sebagai alternatif, untuk komponen struktur yang besar dan masif, luas tulangan yang diperlukan pada setiap penampang, positif atau negatif, paling sedikit harus sepertiga lebih besar dari yang diperlukan berdasarkan analisis.

Untuk pelat lantai satu arah di atas dua perletakan atau menerus, lebar pelat yang menahan momen lentur akibat beban terpusat dapat ditentukan sesuai dengan :
a.       Bila beban tidak dekat dengan sisi yang tidak ditumpu:


dengan pengertian :
a*        = jarak tegak lurus dari tumpuan terdekat ke penampang yang diperhitungkan.
ln         = bentang bersih dari pelat.

b.      Bila beban dekat dengan sisi yang tidak ditumpu, lebar pelat tidak boleh lebih besar dari harga terkecil berikut ini:

1) harga sama dengan persamaan 5.5-1; atau
2) setengah dari harga di atas ditambah jarak dari titik pusat beban ke sisi yang tidak ditumpu.


C.    Penulangan

Syarat tulangan maksimum
Untuk komponen struktur lentur, dan untuk komponen struktur yang dibebani kombinasi lentur dan aksial tekan dimana kuat tekan rencana ρPn kurang dari nilai yang terkecil antara 0,1fc’Ag dan ρPb, maka rasio tulangan ρ tidak boleh melampaui 0,75 dari rasio ρb yang menghasilkan kondisi regangan batas berimbang untuk penampang.
Untuk komponen struktur beton dengan tulangan tekan, bagian ρb untuk tulangan tekan tidak perlu direduksi dengan faktor 0,75.

Jarak tulangan

Jarak tulangan harus cukup memadai untuk penempatan penggetar dan me-mungkinkan ukuran terbesar dari agregat kasar dapat bergerak saat digetarkan. Jarak bersih minimum antara tulangan sejajar, seikat tulangan dan sejenisnya tidak boleh kurang dari:
a) 1,5 kali ukuran nominal maksimum agregat; atau
b) 1,5 kali diameter tulangan; atau
c) 40 mm
Jarak bersih antara tulangan yang sejajar dalam lapisan tidak boleh kurang dari 1,5 kali diameter tulangan atau 1,5 kali diameter seikat tulangan.

Detail tulangan lentur

a) Penyebaran
Tulangan tarik harus disebarkan dengan merata pada daerah tegangan tarik beton maksimum, termasuk bagian sayap balok T, balok L dan balok I pada tumpuan.

b) Pengangkuran – umum
Bagian ujung dan pengangkuran dari tulangan lentur harus didasarkan pada momen lentur hipotetis yang dibentuk oleh pemindahan secara merata dari momen lentur positif dan negatif, sejarak h pada balok terhadap tiap sisi potongan momen maksimum yang relevan.
Tidak kurang dari sepertiga tulangan tarik akibat momen negatif total yang diperlukan pada tumpuan harus diperpanjang sejarak h melewati titik balik lentur.

c) Pengangkuran dari tulangan positif harus memenuhi :
Pada perletakan sederhana, tulangan angkur harus dapat menyalurkan gaya tarik sebesar 1,5 Vu pada bagian muka perletakan.

1) Bila tulangan tarik diperlukan pada tengah bentang, tidak boleh kurang dari setengahnya harus diperpanjang sejarak 12 db melalui muka perletakan, atau sepertiganya harus diperpanjang 8 db ditambah h/2 melalui muka perletakan.
2) Pada balok menerus atau terkekang secara lentur, tidak kurang dari seperempat dari tulangan positif total yang diperlukan di tengah bentang harus diperpanjang/ diteruskan melalui permukaan dekat perletakan.

d) Tulangan lentur tidak boleh dihentikan di daerah tarik kecuali bila salah satu ketentuan berikut dipenuhi:

1) untuk batang D36 dan yang lebih kecil, dimana tulangan menerusnya
memberikan luas dua kali dari luas tulangan lentur yang diperlukan pada titik pemutusan tulangan dan geser terfaktornya tidak melampaui tiga perempat dari kuat geser rencana, ΦVn..
2) gaya geser terfaktor pada titik pemutusan tulangan tidak melebihi dua pertiga dari kuat geser rencana ΦVn..
3) pada setiap pemutusan batang tulangan atau kawat, disediakan suatu luas sengkang tambahan disamping sengkang yang diperlukan untuk menahan geser dan puntir, sepanjang tiga perempat tinggi efektif komponen struktur diukur dari titik penghentian tulangan. Luas sengkang tambahan Av tidak boleh kurang dari.0,4bws/fy. Spasi s tidak boleh lebih dari d/8ρb, dimana ρb adalah rasio dari luas tulangan yang diputus terhadap luas tulangan tarik total pada penampang tersebut.

Syarat-syarat tulangan geser

a) Apabila 0,5φ Vc < Vu < φ Vc , harus dipasang tulangan minimum sesuai pasal 5.2.7.
b) Tulangan geser minimum ini dapat tidak dipasang untuk balok di mana kebutuhan kekuatan geser terfaktor Vu < 0,5φ Vc, atau bila Vu < φ Vc dan tinggi total balok tidak melampaui nilai terbesar dari 250 mm, 2,5 kali tebal sayap atau setengah lebar bagian badan.
c) Apabila Vu > φ Vc, tulangan geser harus dipasang sesuai dengan perencanaan tulangan geser pada pasal 5.2.6.

D.    Sketsa Penulangan

1 komentar:

PERANCANGAN PELABUHAN

BAB I PERENCANAAN  PELABUHAN 1.1. Pendahuluan Pembangunan pelabuhan memakan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan ...